Senin, 21 November 2011

Numpang Promo

     
    Waktu grusak-grusuk folder di PC, tahu-tahu nemu file lama yang sudah lama tidak kubuka.
Hmm,,, lumayan, masuk 50 nominasi LCCG (Lomba Cipta Cerpen Gaul). Sayangnya aku lupa pernah dimuat di tabloid Gaul edisi berapa? T~T

    Begitu tahu cerpenku dimuat, aku langsung membeli tabloidnya. Sampai di rumah langsung kupanggil Mamaku *ceritanya mau pamer ke Mama*
    1...2...3... Kubuka halaman yang memuat cerpenku. Gubrak T~T Cerpenku ada, sih. Tapi namaku tertutup gambar. Hiks. Seolah cerpen itu dibuat oleh anonym. Tak apalah, masih bisa bangga sedikit...
    Langsung saja, check it out.

Tittle:


Skandal Cerpen

-     Cerita harus orisinal (asli)
-     Panjang naskah maksimal 10 ribu karakter / 8 halaman HVS
-     Naskah diketik 1,5 spasi
-     Peserta lomba wajib menyertakan bla, bla, bla, bla…
Well, ini kesempatan buat gue, Dhen!” aku memekik keras saat membaca sebuah pengumuman lomba cerpen dalam sebuah majalah terkenal.
So, jangan lo lewatin, ‘Nda,” respon Dhenia seraya melepaskan cengkeraman tanganku dari pundaknya yang sempat menjadi sasaran empuk untuk kuguncang-guncangkan.
Okay, semangat! Majalah ini kan majalah paling top, pasti saingan gue banyak, berarti gue harus berusaha sebaik mungkin!” kukepalkan tanganku penuh percaya diri. Aku memang bukan seorang penulis, tapi cerita-cerita yang pernah kubuat sudah banyak, hanya saja nggak pernah dipublikasikan, karena aku nggak pernah mengirimkannya ke penerbit atau redaksi majalah.
“Gue dukung lo, ‘Nda! Betewe, sorry ya, gue baru kasih tahu lo sekarang kalo ada lomba cerpen. Dua minggu cukup, kan, buat nyelesain cerpen lo?” tanya Dhenia sedikit menyesal.
It’s okay lah, Dhen! Lo kasih tahu aja gue udah seneng, kalaupun lo kasih tahu tiga hari sebelum tanggalnya, gue pasti bisa nyelesain!” kataku yakin.
Setelah ngobrol-ngobrol sedikit dengan Dhenia, aku bergegas pulang ke rumah. Semangatku untuk mengikuti lomba cerpen lagi berkobar-kobar, nih, jadi aku ingin cepat sampai rumah dan langsung mengerjakan cerpenku.
Walaupun kemungkinan besar yang mengikuti lomba cerpen tersebut berjuta-juta orang, tapi aku harus yakin bahwa aku pasti bisa. Aku sengaja tidak mengirimkan karyaku yang lama, aku ingin membuat cerpen baru yang lebih bagus. Ya, aku pasti bisa membuat cerpen yang bagus dan menarik! Aku yakin!

Tik-tak, tik-tak, tik-tak…

Well, okay! Mungkin optimismeku terlalu berlebihan. Sudah lewat sekitar satu jam sejak aku tiba di rumah, tapi aku masih belum menemukan tema dan jalan cerita yang pas untuk cerpenku. Hwaaah, kalau otak lagi buntu, gini nih, sulit banget untuk berinspirasi.
Kurebahkan tubuhku di kasur, lalu mulai berpikir lagi. Aku ingin sekali membuat cerita yang menarik, tapi kenapa sulit bangeeeet!?
“Kalau cerita patah hati udah biasa, kalau tentang menduakan dan diduakan juga udah biasa…” aku mulai ngoceh sendiri. Tiba-tiba sebuah ide terlintas di benakku. Kalau sudut pandangnya dibuat berbeda mungkin lebih unik. Jadi, akan kubuat cerita tentang orang yang menduakan, hanya saja dalam sudut pandang si orang ketiga alias yang menjadi selingkuhan.
Aku tersenyum sendiri, “umh, kayaknya lumayan unik. Kalau kubuat dengan gaya bahasa yang bagus pasti bisa menjadi cerita yang menarik.”
Maka mengalirlah ide di kepalaku,  jemariku mulai lincah bergerak-gerak di atas keyboard laptopku. Selama satu jam itu aku berkutat di depan laptop sambil terus komat-kamit merangkai kata-kata yang menarik.
“Hhh, susah!” aku mengeluh pelan. Setelah mendapat kira-kira tiga halaman, aku membaca ulang hasil karyaku, tapi aku belum puas, sebab ceritaku sepertinya nggak bisa menarik si pembaca ke dalam dunia cerita itu. Kurang sreg, gitu. Maklum lah, kalau cerita itu adalah kisah nyataku, mungkin aku bisa membuat cerita itu sedikit lebih hidup.
Drrrt…! Drrrt…!
Bersamaan dengan getaran dan bunyi ringtone ‘crush on you’-nya Tata Young, layar LCD handphoneku menampakkan sebuah nama, Aris.
“Yoy, ada apa, Ris?” tanyaku.
“Nggak kok, biasa, iseng doang. Ganggu, nih?” sahutnya dari seberang. Aris adalah sahabatku sejak SMP, sekaligus pacar Dhenia. Aku dan Dhenia sahabatan mulai kelas 1 SMA, sampai akhirnya lima bulan lalu Aris dan Dhenia jadian, udah deh, sejak itu aku jadi nyamuk di antara mereka.
“Sedikit, gue lagi serius bikin proyek, nih,” ujarku.
“Cerpen, kan? Gue tahu, tadi Dheno’ cerita. Makanya gue telepon, pengen gangguin bentar,” kudengar Aris sedikit terkikik.
“Dasar! Udah ah, kalo nggak ada kepentingan nggak usah telepon, mau pamer pulsa?” ledekku.
“Duh, sewot. Nggak kok, sebenernya gue pengen curhat bentar,” katanya kemudian. Aku hanya diam, menunggu kalimat selanjutnya. “Seminggu lagi setengah tahunnya gue sama Dheno’, enaknya gue kasih kado apa, ya?” tanya Aris.
“Oh iya, ‘ntar kalian udah setengah tahun, ya. Berarti perutku ini musti kebagian seneng, dong,” aku meringis walaupun aku tahu Aris nggak mungkin melihat senyum anehku itu.
“Tenang deh, gue traktir kok,” sahutnya.
Aku tertawa lebar, “itulah sahabat terbaik, yang selalu membuat sahabatnya senang, hehehe…”
“Eh, gue kan mau minta solusi sama lo, kok jadi ngomongin traktiran? Jadinya gue kasih apa sama si Dheno’?” Aris membelokkan pembicaraan.
“Dheno’ kan suka jerapah, kenapa nggak dikasih boneka jerapah?” usulku.
“Aduh, ‘Nda. Boneka jerapahnya dia udah bejibun, kemarin-kemarin aja gue udah kasih dia boneka jerapah, yang kreatif dikit kek, kalo jadi orang.”
“Heh, lo mau minta usul atau ngeledek, sih? Lo buang waktu gue aja,” ujarku kesal.
“Sorry, deh. Ya udah, lo kerjain dulu cerpennya, besok lo ikut gue cari kadonya si Dheno’,” kata Aris dan langsung kuiyakan saja. Jujur aja, sekarang aku lagi nggak konsen, otakku udah nyangkut di cerpen, sih.
Begitu telepon Aris terputus, aku langsung menyatukan diri dengan otakku yang masih nyangkut di laptop. Satu malam itu aku berpikir keras agar cerpenku bisa selesai dengan sempurna. Tapi aku memang nggak bisa memaksa, sulit sekali membuat cerpenku sedikit hidup. Kalau saja aku pernah mengalaminya, mungkin aku bisa dengan mudah membuatnya.
“Iya juga, ya. Kalau gue pernah mengalaminya, mungkin gue bisa membuat cerita dengan lebih bagus,” sebuah ide buruk tiba-tiba terlintas. Tapi siapa ya, yang bisa gue jadiin objek sasaran? Aduuh, ‘Nda, jangan ambil resiko, deh! Bego, lo!
“Hoy, Shalinda Elmerani! Bengong aja!” sebuah suara menegurku.
“Eh, apa? Barusan lo ngomong?” sahutku sedikit terkejut. Kulihat Aris tengah berdiri di hadapanku sambil memegang sebuah topi berhiaskan kepala jerapah di tangan kanannya dan sebuah tas bahu berbentuk kepala jerapah di tangan kirinya.
“Yah, ngelamun! Jadi gue musti pilih yang mana, nih?” tanyanya sambil menimbang-nimbang kedua benda yang dipegangnya.
“Yang pasti jangan topi, bego! Emang Dheno’ anak TK yang pake topi begituan?”
“Ya udah, berarti tas, kan?” tanya Aris lagi. Sebuah pertanyaan yang nggak perlu kujawab.
“Ris, makan dulu ya. Gue laper, nih,” rengekku.
Akhirnya setelah membayar belanjaan Aris di kasir, aku langsung menariknya menuju sebuah stand penjual makanan. Seporsi bakso langsung kulahap begitu tersaji di hadapanku.
“Buseng deng, nggak jaim banget lo, ada cowok di sini, non,” Aris menatapku aneh.
“Biahi, kunga hu goang aha… (biarin, cuma lo doang aja)” jawabku dengan makanan penuh di mulut.
“Lo sama aja dari dulu,” Aris melemparkan gumpalan tisu ke arahku, tapi luput. Aku menghindar cepat. Setelah itu kami terdiam beberapa detik, hingga Aris mulai bicara lagi.
“Eh, kita udah lama nggak makan berduaan aja kayak gini, ya?” celetuknya pelan.
“Iya, sejak lo jadian sama Dheno’, lo kan nggak pernah ngajak gue pergi.”
“Lo sendiri nggak ngajak,” tukasnya.
“Mana mungkin gue ngajak pergi pacar orang lain? Gila apa?”
“Kalo ngajak pacar lo sendiri?” tanyanya. Aku melirik aneh.
“Aneh lo, ya jelas nggak masalah dong! Pacar, pacar gue sendiri.”
“Coba dulu gue nembak lo,” kata Aris dengan entengnya membuatku tersedak.
“Uhuk, gila lo! Dheno’ dikemanain?” aku sedikit tertawa, kupikir dia hanya bercanda.
“Lo nggak pernah serius, sih, lo juga nggak peka. Makanya cinta gue sejak SMP dulu nggak pernah lo sadarin.” Mata Aris menatapku, nggak ada pancaran humor di matanya.
God, serius nih? Si Aris gila banget, sih!
“Udah ah, nggak enak becandaannya,” aku berusaha mengalihkan. Tapi Aris masih menatapku, aku jadi salting dengan tatapannya.
Lalu dia tersenyum kecil, “iya, Dheno’ mau gue kemanain, ya?” ujarnya kemudian. “Coba aja gue nggak jadian sama Dheno’, sebenernya dulu gue pengen jadian sama lo, ‘Nda,” lanjutnya.
Aku tercekat. “K-kok… bisa?” tanyaku gugup.
“Gue jadian sama Dheno’ biar gue bisa ngelupain elo. Lo sih, lo bilang lo suka sama Tian, jadi saat gue patah hati itu gue putusin buat nembak Dheno’, buat pelarian maksudnya. Ternyata diterima, eh, malah keterusan sampe sekarang,” ceritanya sambil menerawang.
Ya ampuuun! Kenapa jadi tambah menjurus gini, seh? Mendingan gue tadi di rumah aja, ngerjain cerpen! Tiba-tiba satu kata terakhirku itu memberikan sebuah solusi cemerlang.
“Ya udah, pacaran yuk,” ujarku kemudian, singkat dan ngeboom. Aris terkejut mendengarku.
“Serius,” kuacungkan kedua jariku mebentuk huruf V. “Tapi kita backstreet dari Dheno’. Ya jelas lah ya, pokoknya jangan sampe Dheno’ tahu kalau kita pacaran, jadi…”
“Iya, gue tahu, jadi gue selingkuh, gitu kan?”
Aku mengangguk pelan, Aris balas mengangguk, lalu tertawa kecil.
“Haaah, gue jahat ya, ngeduain Dheno’ yang nggak punya salah,” ujarnya pelan. Aku hanya tersenyum kecut menanggapi. Dalam hatiku aku memaki diriku sendiri. Gue yang kejam, Ris! Selain ngerusak hubungan lo sama Dhenia, gue udah jadiin lo solusi buat nyelesain cerpen gue. I’m so sorry!
*     *     *

Hingga tepat setengah tahunnya Aris dengan Dhenia, Dhenia masih belum tahu tentang hubungan rahasia antara aku dan Aris. Yang jelas, aku merasa cerpenku semakin menarik, dan aku yakin kalau cerpenku bisa menjadi salah satu dari yang terbaik. Itu semua karena aku merasakan bagaimana menjadi orang ketiga.
“’Nda, gimana cerpenmu? Udah dikirim?” tanya Aris suatu hari, aku tersedak ludahku sendiri. Kaget sih, sebab Aris masih belum tahu kalau dia menjadi objek percobaanku. Kalau sampai dia membaca cerpenku, aku takut Aris akan sadar bahwa aku hanya mempermainkannya.
“Mmh, belum, masih dalam proses,” kataku tersendat.
“Bagus deh, aku pengen jadi orang yang pertama kali baca, jadi sebelum dikirim ke redaksi, kasih tau aku dulu, ya,” katanya sambil tersenyum manis.
“Oh, eh, maksudku dalam proses pengiriman. Udah kumasukin ke dalam amplop, jadi nggak bisa dibuka lagi,” bohongku.
“Oh, sayang kalo gitu, padahal aku pengen baca,” Aris kecewa. Aku hanya tersenyum kecut.
Mataku menyapu seluruh ruangan café, dan pada saat itulah aku mendapati satu sosok yang pernah kukenal, bahkan sangat kukenal.
“Gawat, Ris! Itu kan Dheno’!” aku memekik pelan. Aris mendelik, lalu menoleh ke belakang. Dari tempatku, aku bisa melihat dengan jelas sosok Dhenia yang sedang berjalan menuju sebuah meja bersama teman satu kursusnya. Dengan gesit kutarik lengan Aris menuju pintu keluar. Pokoknya kita harus pergi dari tempat ini sebelum kepergok sama Dheno’!
Kejadian seperti ini sudah dua kali terjadi sebelumnya, saat aku dan Aris lagi pegangan tangan tiba-tiba Dhenia nongol gitu aja. Udah deh, kita kelabakan dan terpaksa berbohong pada Dhenia. Yang kedua saat kita jalan bareng ke mal, eh, malah ketemu Dhenia di sana. Kita bilang aja kalau kita kebetulan ketemu. Haduuuh, susahnya jadi orang ketiga!
Begitu tiba di luar café, aku dan Aris baru bisa bernafas lega.
“Gila! Untung aja Dheno’ nggak liat kita! Kalau sampe kita kegap lagi, mungkin dia bakalan sadar kalo kita bohongin dia,” aku mengusap peluhku sambil tertawa kecil.
“Iya,” Aris bersandar di sebuah tembok. Selama beberapa menit kami sama-sama terdiam. Kutatap Aris yang tengah memejamkan mata sambil menghela nafas dalam-dalam. Rasanya dia semakin dewasa, kalau melihatnya dari samping seperti ini, aku merasa ada kesejukan di hatiku. Aneh, tapi itu yang kurasakan sejak beberapa hari terakhir ini, sejak aku sering jalan dengan Aris. Padahal sebelumnya nggak pernah, apa karena status palsu yang kusandang, sehingga ada sedikit perbedaan dengan caraku memandang serta memperlakukan Aris ketimbang hari-hari sebelumnya, sebelum aku dan Aris ‘pacaran’?
            “’Nda,” panggil Aris. Aku gelagapan begitu Aris mendapatiku sedang menatapnya.
            “Eng, apa?”
            “Aku capek kalo kayak gini terus, tiap pergi musti sembunyi-sembunyi, musti bohong gini-gitu sama pacar sendiri,” Aris berhenti sejenak. Jantungku berdetak keras, sepertinya aku tahu apa yang akan dikatakan Aris sebentar lagi.
            “Kalo kita udahan, gimana?”
            DEGH! Aku tahu suatu saat hal ini pasti terjadi. Aku sadar Aris hanyalah objekku, tapi kenapa sakit sekali dadaku saat Aris mengatakan itu? Sejak awal seharusnya aku tahu, aku nggak perlu melakukan hal ini. Kalau sudah begini, kalau cinta mulai ikut campur, semakin rumit, kan?
            “Aku nggak bisa, Ris,” kata-kata itu tiba-tiba keluar dari mulutku.
            “Tapi aku udah capek, ‘Nda,” ujarnya putus asa.
            “Aku nggak bisa, Ris. Aku nggak bisa lepas dari kamu,” kataku memelas. I’m so sorry, Dhen! Tapi aku nggak bisa mungkir…
            “Sorry, ‘Nda. Setelah kupikir-pikir, perasaan yang dulu itu udah nggak ada. Aku sadar kalau ternyata aku lebih sayang sama Dhenia,” suara Aris begitu tegas.
            Kuasakan air mataku mulai menitik. Tuhan, kenapa aku jadi begini? Aku bingung! Aris memang pacar Dhenia, tapi kenapa aku nggak mau lepas dari Aris?
            Semakin lama aku semakin terisak, aku sendiri bingung harus melakukan apa. Tiba-tiba saja tubuhku bergerak memeluk Aris. Aku menangis dalam pelukannya. Isak tangisku terdengar di sela-sela deru kendaraan yang berlalu lalang.
            Aris menyambut pelukanku, mengelus pundakku pelan.
            “Maaf, ‘Nda. Aku benar-benar nggak bisa nerusin ini, maaf…” ujarnya setengah berbisik.
            Dari sorot matanya bisa kulihat bahwa Aris tidak sedang berbohong. Haruskah kuakhiri semuanya? Kuhela nafasku dalam-dalam, berusaha melepaskan semua bebanku. Ya, mungkin itu lebih baik bagi Aris…
            “Aku cinta sama kamu, Ris,” suaraku parau.
            Aku bangun dari pelukan Aris, saat itulah aku melihat seseorang tengah berdiri di belakang Aris, menatap kami dengan genangan air mata di pelupuk matanya.
            “Dhenia?” aku terkejut, begitu juga Aris yang langsung salah tingkah.
            “Kenapa kamu musti bohong, Ris? Kamu bilang nganterin Mama kamu ke mal,” Denia berhenti sejenak. “Jadi, ini Mama baru kamu?!”
            “Dhen, ini nggak seperti yang kamu pikir,” Aris menjelaskan, tangannya mencengkeram pundak Dhenia, berusaha meyakinkan.
            “Bullshit!!!” Dhenia menepis tangan Aris, ditatapnya Aris dengan nanar.
            “Sejak kapan kalian ngelakuin perbuatan kotor ini, hah?! ‘Nda, gue pikir lo sahabat gue, nggak tahunya…” Dhenia tersenyum sinis penuh amarah, kalimat terakhirnya itu ditujukan padaku.
            Good job, ‘Nda!!! Sekarang Dhenia udah tahu belang lo, dan lo bisa rasain kehilangan sahabat, kan? Belom kapok, lo? Mampus, rasain tuh cinta! Makan tuh cerpen lo!!!
            “Dhen! Gue nggak bermaksud kayak gitu…” aku berusaha meyakinkan Dhenia.
            “Gue nggak tanya! Yang gue tanya, sejak kapan kalian kayak gini?!!”
            Aku berjalan mendekati Dhenia, beberapa orang mulai memperhatikan kami, tapi aku nggak peduli apa komentar mereka. Yang harus kupikirkan sekarang adalah bagaimana cara menjelaskan semuanya pada Dhenia. Aku nggak ingin semuanya berakhir, persahabatnku dengan Dhenia, begitu juga dengan Aris. Ini adalah kesalahan bodoh yang pernah kulakukan! Tuhan, beri aku jalan keluar…
            Kurasakan air mataku semakin mengalir.
            “Sejak seminggu yang lalu, Dhen. Dan itu semua nggak serius! Gue manfaatin Aris supaya gue bisa ngebuat cerpen yang bagus! Supaya cerpen tentang selingkuh yang gue buat bisa lebih hidup! Aris nggak salah! Gue yang salah, gue manfaatin hubungan kalian berdua!!!” Semua kata-kata itu terlontar begitu saja. Aku nggak berpikir apa akibatnya, saat itu aku hanya berpikir bagaimana caranya agar aku bisa mengembalikan keadaan seperti dulu, saat-saat yang menyenangkan ketika kita bersama.
            Dhenia terlihat begitu terkejut. “Gila, lo!!!” dia menyumpahiku. Aku nggak bisa membalasnya, aku hanya bisa menangis, menyesali semuanya.
            Aris menghampiriku, menatapku dengan tajam, “haha… Gue bego banget. Congrat ‘Nda, lo udah berhasil ngebuat cerpen yang bagus. Semoga lo menang!” katanya sinis, lalu pergi meninggalkanku.
            “Well, selamat, ya! Lo udah ngerusak semuanya! Hubungan gue dan Aris, dan… persahabatan kita!” Dhenia berkata geram, dia menekankan intonasinya pada dua kata terakhir.
            “Thank’s banget, ‘Nda!” dia masih sempat menatapku dengan tatapan benci hingga akhirnya berlalu meninggalkanku.
            Kakiku lemas, aku jatuh terduduk di pelataran parkir café yang sedikit ramai. Beberapa orang menatapku iba, ada juga yang bertanya-tanya kepada temannya, apa yang sebenarnya terjadi. Tatapan iba mereka menghujamku, membuatku semakin merasa bersalah. Aku merasa bodoh, rendahan!
            Aku ingin sekali berteriak kepada orang-orang di sekitarku. Jangan kasihani aku, aku orang yang jahat, kejam, dan nggak perlu dikasihani!!!
            Aku bangkit dan bergegas menghentikan sebuah taksi yang lewat. Di dalam taksi, aku hanya bisa menangis, menangis dan terus menangis. Menyesali betapa bodohnya aku, seandainya saja sejak awal aku nggak melakukan ini, seandainya sejak awal aku nggak mengetahui lomba cerpen itu, seandainya saja sejak awal aku nggak dilahirkan!
*     *     *

            Dua bulan kemudian…
            “’Nda! Gimana? Lo naik kelas?” tanya salah seorang temanku padaku.
            “Iya, gue masuk XII.A.2,” aku tersenyum kecil.
            Dua bulan terasa sangat lama bagiku, apalagi harus kulalui sendirian. Ya, sejak kejadian itu aku, Dhenia, dan Aris nggak berhubugan lagi. Kita nggak saling menyapa kalau bertemu di sekolah. Rasanya sepi sekali.
            Yang kutahu, sejak kejadian itu aku jarang meihat Dhenia dan Aris bersama. Entah, apa mereka sudah putus, atau aku saja yang jarang melihat mereka, atau mungkin mereka memang sengaja menghindar dari orang kejam tak berperasaan ini.
            Cerpenku sudah kukirim. Dalam cerita itu aku bebas membuat jalan ceritanya karena akulah yang mengarang, tapi dalam kehidupan nyata, aku nggak bisa menentukannya. Satu hal yang kusadari, bahwa setiap tokoh utama nggak akan selalu mengalami happy ending. Aku nggak perlu menyebutkan siapa yang kumaksud, karena tanpa menyebutkannya kalian pasti sudah tahu.
Awalnya aku sempat bingung ketika membuat endingnya. Hingga akhirnya kubuat si orang ketiga pergi dari kehidupan mereka. Aku ingin membuat happy ending, bukan seperti kisahku. Lumayan, aku bisa meraih juara dua, tapi entah kenapa aku nggak merasa senang. Mungkin karena nggak ada Dhenia yang selalu mendukung dan memujiku seperti biasanya.
            Aku menyusuri sepanjang koridor sekolah sambil menyapa beberapa orang yang berlalu lalang. Saat itulah aku melihat Dhenia sedang tertawa ceria bersama seseorang, ternyata Aris. Dari kejauhan kulihat mereka sedang bercanda, tiba-tiba perasaan lega menyelimuti dadaku. Mungkin itu memang yang terbaik, mereka berbahagia tanpa aku.
            Sebenarnya aku enggan, tapi mau tak mau aku harus berjalan melewati mereka. Dari sudut mataku bisa kulihat Dhenia menatap sepanjang langkahku.
            “’Nda!”
            DEGH! Dia memanggilku?
            Aku menoleh perlahan.
            “Lo… naik?” Dhenia bertanya pelan dan sedikit ragu.
            Aku mengangguk sambil tersenyum kecil.
            “Syukur, deh,” Dhenia balas tersenyum. Kulihat Aris juga tersenyum. Untuk beberapa detik kami sama-sama terdiam. Jujur, aku ingin sekali berteriak sekeras mungkin. Disapa oleh seorang sahabat yang lama nggak saling menyapa, ternyata lebih menyenangkan dan mendebarkan daripada disapa oleh orang yang disukai!
* selesai *
Oya, jangan lupa kunjungi blogku yang satunya ya ^^ http://phoomiaw.blogspot.com/

"PENGKADERAN",,, penting nggak sih???



      Pengkaderan. Rupanya hal ini yang menjadi momok bagi mahasiswa baru di awal menginjakkan kaki di masa perkuliahan. Heran deh, kenapa maba mayoritas anti pada pengkaderan, tapi nggak ada yang berani menolak adanya pengkaderan? Kalau nggak suka bilang aja terus terang. Nggak berani? Nah, itu yang menjadi masalah. Nggak berani karena kalian sendiri belum tahu jelas apa alasan kalian menolak pengkaderan.
      Tapi sebenarnya perlu dipertanyakan juga lho, apa yang menyebabkan mayoritas maba menolak adanya pengkaderan? Apa yang salah sih dari pengkaderan? Kalau ditelusuri lebih dalam, ternyata yang menjadi masalah inti ada dalam paradigma (cara pandang). Beberapa senior masih ada yang berpegang pada pengkaderan gaya jadul, yang pake aksesoris-aksesoris alay itu loh. Kalau memang ada tujuan yang jelas, masih bisa diterima. Tapi kalau cuma buat kepuasan senior sih nggak banget. Seharusnya kita perlu belajar dan sedikit mencontek pengkaderan di negara luar. Dimana di sana diperkenalkan budaya-budaya akademik serta bagaimana menjaga rasa aman dan nyaman dalam belajar.
      Nah, itulah pengkaderan yang ideal. Setelah menggabungkan beberapa pendapat didapatlah beberapa konsep pengkaderan yang ideal , diantaranya:
  • Mengkader mahasiswa baru menjadi mahasiswa seutuhnya.
    Mahasiswa seutuhnya adalah mahasiswa yang cerdas secara akademik sekaligus dalam berorganisasi.
  • Memanusiakan manusia, bukan mencetak robot
    Sebuah organisasi bukanlah menciptakan robot yang selalu bisa menurutinya, melainkan mencetak manusia yang betul-betul manusia yang bisa berpikir lebih luas dan mungkin bisa menciptakan sesuatu yang baru dalam organisasinya.
  • Memberi pendidikan yang sejelasnya.
    Bukan hal-hal aneh yang kurang jelas tujuannya. Karena pengkaderan bertujuan untuk membentuk karakteristik mahasiswa baru, bukan untuk meng'galau'kan mahasiswa baru.
  • Membuat mahasiswa baru datang dengan lapang dada.
    Kalau maba datang dengan ogah-ogahan karena belum tahu tujuan sebenarnya pengkaderan dan karena syarat-syaratnya yang aneh, tandanya pengkaderan itu masih bergaya jadul.
Dari situ bisa diketahui kan, pengkaderan di kampusmu masuk pengkaderan modern atau masih bergaya jadul? Yang modern lebih keren lho, selain nggak ribet, banyak ilm yang bisa kita dapat.
      Jadi, kesimpulannya pengkaderan itu penting nggak sih??? Jawabannya jelas, pake huruf kapital tebal digaris bawah: PENTING BANGET. Tapi pengkaderan yang seperti apa dulu? Yang jelas, pengkaderan yang ideal dong. Yang mampu membentuk karakteristik baik dalam diri kita untuk kedepannya. ^_^


source: